Ajaran Islam memerintahkan agar umatnya senantiasa menjaga kesehatan gigi dan mulut. Dalam
salah satu haditsnya, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: ”Seandainya
tidak akan merepotkan umatku, maka aku akan perintahkan kepada mereka
untuk membersihkan gigi pada setiap akan shalat.”(HR Bukhari dan
Muslim).
Islam memahami bahwa menjaga kesehatan
gigi dan mulut akan sangat menentukan kualitas hidup manusia. Tak heran
jika seabad setelah Rasulullah SAW wafat, para dokter Muslim di era
keemasan terdorong untuk turut mengembangkan ilmu kedokteran gigi
(dentistry). Sejatinya, pengobatan gigi telah diterapkan manusia dari
peradaban Lembah Indus bertarikh 7.000 hingga 5.500 SM.
Namun, ilmu kedokteran gigi justru
berkembang pesat pada era kejayaan peradaban Islam. Henry W Noble (2002)
dalam Tooth transplantation: a controversial story, History of
Dentistry Research Group, Scottish Society for the History of Medicine
mengakui bahwa para dokter Muslim di zaman kekhalifahan merupakan
perintis dalam pengembangan ilmu kedokteran gigi.
Peradaban Barat saja baru mengembangkan
ilmu kedokteran gigi secara khusus pada abad ke-17 M. Buku pertama
tentang ilmu kedokteran gigi di Barat baru hadir tahun 1530 M bertajuk
“Artzney Buchlein”. Buku teks kedokteran gigi dalam bahasa Inggris baru
muncul tahun 1685 karya Charles Allen berjudul Operator for the Teeth.
Bahkan, masyarakat Amerika baru mengenal
adanya dokter gigi pada abad ke-18 M. John Baker merupakan dokter
pertama yang praktik di benua itu. Baker merupakan dokter gigi yang
berasal dari Inggris. Amerika baru memiliki dokter gigi sendiri pada
tahun 1779 M bernama Isaac Greenwood.
Lucunya, peradaban Barat mengklaim
Pierre Fauchard – berkebangsaan Prancis yang hidup di abad ke-17
sebagai “bapak ilmu kedokteran gigi modern”. Padahal, menurut Noble, 700
tahun sebelum Fauchard hidup, seorang dokter Muslim bernama Abu
al-Qasim Khalaf ibn al-Abbas Al-Zahrawi alias Abulcasis (930 M – 1013 M)
telah sukses mengembangkan bedah gigi dan perbaikan gigi.
Keberhasilannya yang telah memukau para
dokter gigi modern itu tercantum dalam Kitab Al-Tasrif. Kitab itu
tercatat sebagai teks pertama yang mengupas bedah gigi secara detail.
“Dalam kitabnya itu, Abulcasis juga secara detail menggambarkan
keberhasilannya dalam melakukan penanaman kembali gigi yang telah
dicabut,” papar Noble.
Al-Zahrawi juga tercatat sebagai dokter
yang mempelopori penggunaan gigi palsu atau gigi buatan yang terbuat
dari tulang sapi. Kemudian geligi palsu itu dikembangkan lagi mengunakan
kayu – seperti yang digunakan oleh presiden pertama Amerika Serikat,
George Washington 700 tahun kemudian.
Sumbangan penting dokter Muslim di era
kejayaan dalam pengembangan ilmu kedokteran juga diungkapkan Salma
Almahdi (2003) dalam tulisannya berjudul Muslim Scholar Contribution in
Restorative Dentistry yang dimuat dalam Journal of the International
Society for the History of Islamic Medicine. Menurut Almahdi, dokter
gigi Muslim dari abad ke-10 M lainnya yang mengembangkan dentistry
adalah Abu Gaafar Amed ibnu Ibrahim ibnu Abi Halid al-Gazzar.
Dokter gigi asal Afrika Utara itu
memaparkan metode perbaikan gigi secara detail dalam Kitab Zad
al-Musafir wa qut al-Hadir. Kitab itu lalu diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin sebagai Viaticum oleh Constantine the African di Universitas
Salerno – yang berada di Selatan Italia. “Kitab yang ditulis Al-Gazzar
merupakan yang pertama yang mengupas tentang perawatan gigi
busuk/rusak,” papar Almahdi.
Dalam kitabnya, Al-Gazzar menyatakan
bahwa hal pertama yang perlu dilakukan untuk mengobati gigi yang busuk
adalah membersihkannya. Kemudian, papar dia, gigi itu diisi dengan
gallnut, madu, kemenyan, terbinth yang mengandung damar, pohon cedar
yang mengandung damar, pellitory atau pengasapan dengan akar
colocynthis.
Al-Gazzar pun merekomendasikan senyawa
arsenik untuk gigi yang berlubang. Campuran ini juga mampu mengatasi
pembusukan gigi serta mengendurkan dan meredakan ketegangan syaraf.
Dokter Muslim lainnya yang memberi sumbangan penting bagi ilmu
kedokteran gigi adalah Ibnu Sina lewat karyanya yang sangat fenomenal
bertajuk he Canon of Medicine. Menurut Almahdi, Ibnu Sina terpengaruh
oleh Al-Gazzar dalam pengobatan gigi.
Meski begitu, Ibnu Sina mengembangkan
sendiri pengobatan gigi dengan caranya sendiri. Baik Al-Gazzar maupun
Ibnu Sina sepakat bahwa kebusukan pada gigi disebabkan oleh “cacing
gigi”. Namun pendapat itu dipatahkan oleh dokter Muslim lainnya dari
abad ke-12 M bernama Gaubari. Dalam Book of the Elite yang ditulisnya,
Gaubari menyatakan bahwa dalam kenyataannya cacing gigi tak pernah ada.
Sejak abad ke-13 M, teori cacing gigi akhirnya tak lagi diterima dalam
kedokteran Islam.
Kontribusi peradaban Islam lainnya yang
tak kalah penting dalam kedokteran gigi diberikan oleh Abu Bakar
Muhammad Ibnu Zakaria Ar-Razi. Dokter legendaris di era keemasan
peradaban Islam itu juga secara khusus mengembangkan perawatan kesehatan
gigi. Ar-Razi terbilang sebagai dokter Muslim pertama yang memberi
sumbangan bagi ilmu kedokteran gigi.
Menurut Almahdi, Ar-Razi mencoba
merekomendasikan metode yang dikembangkan Galen – dokter dari peradaban
Yunani – dalam melepas gigi rusak dengan cara dibor. Untuk mengurangi
rasa sakit saat gigi dibor, dokter terkemuka di kota Baghdad itu
menganjurkan agar lubang gigi ditetesi minyak.
Selain mengkaji masalah gigi, dokter
Muslim di era kekhalifahan pun sudah mengkaji kesehatan mulut, salah
satunya soal lidah. Organ penting yang dibiasa digunakan untuk
mengunyah, menelan dan berbicara itu mendapat perhatian khusus dari Ibnu
Sina. Dalam Canon the Medicine, Ibnu Sina mengkaji berbagai penyakit
lidah dan penyembuhannya.
Menurut Almahdi, dalam kitabnya yang
sangat lengkap itu Ibnu Sina menerangkan tentang anatomi lidah serta
penyakit-penyakit yang sering dialami organ lidah baik secara sensorik
maupun motorik. Ibnu Sina membahas masalah lidah secara mendalam dalam
empat belas bab.Betapa sumbangan peradaban Islam bagi dunia kedokteran
sungguh begitu luar biasa. Namun, kontribusi penting para dokter Muslim
itu kerap dinihilkan dan disembunyikan peradaban Barat. Tak heran, bila
pencapaian para ilmuwan Muslim di era kejayaan itu juga tak diketahui
masyarakat Islam di era modern ini. Sungguh ironis memang.
Siwak, Pembersih Gigi Warisan Rasulullah SAW
Membersihkan gigi merupakan sunah yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW biasa membersihkan giginya dengan siwak. Dalam hadits dsebutkan Rasulullah SAW biasa menggosok giginya dengan siwak setiap bangun dari tidur. Hudaifah RA meriwayatkan: “Kapan pun Rasulullah SAW bangun dari tidur, ia akan menggosok giginya dengan siwak.
Membersihkan gigi merupakan sunah yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW biasa membersihkan giginya dengan siwak. Dalam hadits dsebutkan Rasulullah SAW biasa menggosok giginya dengan siwak setiap bangun dari tidur. Hudaifah RA meriwayatkan: “Kapan pun Rasulullah SAW bangun dari tidur, ia akan menggosok giginya dengan siwak.
” (HR Bukhari dan Muslim).Selain setelah
bangun tidur, dalam hadits lainnya Nabi Muhammad SAW juga biasa
membersihkan giginya dengan siwak sesaat sebelum berwudhu. Aisyah RA
meriwayatkan: Kami biasa menyiapkan sebuah siwak dan air untuk wudhu
bagi Rasulullah SAW kapan pun Allah menghendaki beliau bangun dari tidur
malam, beliau akan mebersihkan giginya dengan siwak, mengambil wudhu,
dan lalu mendirikan shalat. (HR Muslim).
Bahkan dalam hadits lainnya, Rasulullah
SAW secara khusus menyarankan umatnya untuk menggunakan siwak. Anas RA
meriwayatkan: Rasulullah SAW bersabda, “Aku menyaran agar kalian
menggunakan siwak”. (HR Bukhari). Siwak merupakan alat pembersih gigi
yang diwariskan Rasulullah SAW bagi umatnya. Bukan tanpa alasan
Rasulullah SAW menyarankan umatnya untuk menggunakan siwak berbentuk
batang yang diambil dari akar dan ranting segar tanaman arak (salvadora
persica). Sebuah penelitian ilmiah pada tahun 2003 membuktikan
keunggulan siwak dibandingkan pasta gigi biasa.
Kayu siwak memiliki keunggulan karena
terbukti mengandung mineral-mineral alami yang dapat membunuh bakteri,
menghilangkan plaque, mencegah gigi berlubang serta memelihara gusi.
Siwak pun diketahui memiliki kandungan kimiawi yang bermanfaat, seperti
Antibacterial acids, seperti astringents, abrasive, dan detergent yang
berfungsi untuk membunuh bakteri, mencegah infeksi dan menghentikan
pendarahan pada gusi.
Selain itu, siwak juga mengandung zat
kimia seperti Klorida, Pottasium, Sodium Bicarbonate, Fluoride, Silika,
Sulfur, Vitamin C, Trimethyl amine, Salvadorine, Tannins, dan beberapa
mineral lainnya yang berfungsi untuk membersihkan gigi, memutihkan dan
menyehatkan gigi dan gusi. Siwak pun mengandung minyak aroma alami yang
memiliki rasa dan bau yang segar. Zat inilah yang membuat siwak dapat
menghilangkan bau pada mulut.
Sebagai pasta gigi alami, siwak juga
mampu mencegah pembentukan karang gigi. Zat anti pembusukan yang
terkandung dalam siwak diyakini dapat menurunkan jumlah bakteri di mulut
dan mencegah proses pembusukan.Kelebihan lainnya dari siwak adalah
kemampuannya untuk turut merangsang produksi saliva (air liur) lebih.
Apalagi saliva merupakan organik mulut yang melindungi dan membersihkan
mulut.
Atas dasar itulah perusahaan pasta gigi
di dunia menyertakan bubuk siwak ke dalam produknya. Pada tahun 1986 dan
2000, organisasi kesehatan se-dunia merekomendasikan penggunaan siwak
dalam sebuah konsensus internasional. Dr Otaybi dari Arab Saudi dalam
penelitian yang dilakukannya membuk.(rpb) @ www.suaramedia.com